Skip to main content

Featured

034-Culagopalaka Sutta.

CULAGOPALAKA SUTTA Pendahuluan Seperti sutta 33, Sutta ini juga memperkenalkan kiasan mengenai penggem­bala cakap/mampu/tangkap dan tidak cakap tetapi mereka ini dipakai pada per­soalan subyek yang berbeda. Seorang penggembala (sapi) yang tidak cakap di­bandingkan dengan guru-guru agama yang tidak trampil di dalam dunia ini (karena mereka tidak tahu mengajar orang-orang hidup dengan penuh kedamaian, begitu juga guru lainnya karena mereka memilik kebahagiaan sendiri); dunia yang akan datang ( tidak mengetahui tindakan apa yang dianjurkan untuk mencapai kelah­iran kembali yang baik, atau memegang pandangan penghancur lainnya yang menya­takan tidak ada kehidupan berikutnya); yang menjadi milik Mara (seluruh dunia diliputi oleh keinginan dan hawa nafsu, sekalipun surga rasa keinginan atau buah atas dari keinginan itu menjadi milik Mara); apa saja yang bukan milik Mara (adalah dunia yang berupa atau tanpa rupa yang berada diluar jangkauan Mara; dasar mereka bukan keing

029-Mahasaropamasutta.

MAHASAROPAMASUTTA

(29)

Demikianlah yang saya dengar:

Suatu ketika Sang Bhagava berdiam di dekat Rajagaha di puncak Gunung Burung Hering tidak lama setelah Devadatta pergi. Di sana Sang Bhagava berbicara pada para bhikkhu mengenai Deva­datta:

"Di sinilah, o para bhikkhu (2), beberapa pemuda telah meninggalkan rumah dan keluarganya berdasarkan keyakinan dan pemikiran: "Saya dicengkeram oleh kelahiran, usia tua, dan kematian; oleh duka cita, kesedihan, penderitaan, rata­pan, dan putus asa. Saya dicengkeram oleh derita hebat, dilimpahi derita hebat. Mungkin penghancuran seluruh derita hebat ini dapat ditunjukkan." Karena itu ia pergi, mendapat keuntungan, kemuliaan, dan kemasyuran. Karena keuntungan, kemuliaan, dan kemasyuran, ia menjadi terpuaskan, tujuannya tercapai. Karena keuntungan, kemuliaan, dan kemasyuran ini pula, ia mengagungkan dirinya sendiri dan meremehkan orang lain, dengan berkata: "Akulah si penerima dan menjadi terke­nal, tetapi para bhikkhu lain hanya tahu sedikit dan dihargai sedikit." Karena keuntungan, kemuliaan, dan kemasyurannya ini, ia menjadi gembira, malas, danterjatuh dalam kelembaman; menjadi malas, lalu jatuh sakit. Para bhikkhu, hal ini dapat diibaratkan seperti seseorang yang berjalan mengejar untuk menemukan dan mencari intisari dari pohon yang besar, kokoh dan berbiji banyak, melewati intisari itu sendiri, melewati kayu lunak, melewati kulit kayu, melewati tunas muda, dan setelah memotong cabang dan dedaunan, mungkin akan membawa semuanya karena menganggap bahwa semua itu adalah intisari. Seseorang yang dapat 'melihat', setelah melihat dia, mungkin berkata: "Sesungguhnya orang baik ini tidak tahu tentang intisari, dia tidak tahu tentang karu lunak, dia tidak tahu tentang kulit kayu, dia tidak tahu tentang tunas muda, dia tidak tahu tentang cabang dan dedaunan. Pengetahuan orang baik ini tidaklah sebanyak perjalannya dalam mengejar untuk menemukan dan mencari intisari dari pohon yang besar, kokoh, dan berbiji banyak; melewati intisari itu sendiri melewati kayu lunak, melewati kulit kayu, melewati kulit kayu, mele­wati tunas muda, dan setelah menebang cabang dan dedaunan, membawa semuanya karena menganggap bahwa semua itu adalah intisari. Maka dia tidak akan mendapatkan kebajikan yang seharusnya dapat diperoleh." Walaupun demikian, o para bhikk­hu, beberapa pemuda, setelah meninggalkan rumah bermodalkan keyakinan, berpikir: "Saya dicengkeram oleh kelahiran, usia tua, dan kematian; oleh duka cita, kesedihan, penderitaan, ratapan, dan putus asa. Saya dicengkeram oleh derita hebat, dilimpahi derita hebat. Mungkin penghancuran seluruh derita hebat ini dapat ditunjukkan." Karena itu ia pergi, mendapat keuntungan, kemuliaan, dan kemasyuran, ia terpuaskan, tujuan­nya tercapai. Karena ketuntungan, kemuliaan, dan kemasyhuran itu pula, ia mengagungkan dirinya sendiri, dan meremehkan orang lain dengan berpikir: "Akulah si penerima, tetapi para bhikkhu lain hanya tahu sedikit, sehingga hanya dihargai sedikit." Karena keuntungan, kemuliaan, dan kemasyurannya, ia menjadi gembira, malas dan terjatuh dalam kelambanan; menjadi malas, lalu sakit. Para bhikkhu, inilah yang disebut seorang bhikkhu yang berpegang pada cabang dan dedaunan dari pohon Brahma karenanya ia gagal mencapai Penerangan Sempurna.

Tetapi, o para bhikkhu, beberapa pemuda meninggalkan rumah bermodalkan keyakinan, dan berpikir: "Saya dicengkeram oleh kelahiran, usia tua, dan kematian: oleh duka cita, kesedihan, penderitaan, ratapan, dan putus asa. Saya diceng­keram oleh derita hebat, dilimpahi derita hebat. Mungkin penghancuran seluruh derita hebat ini dapat ditunjukkan." Karena itu ia pergi, mendapat keuntungan, kemulian, dan kemasyhuran. Tetapi dengan keuntungan, kemuliaan, dan kema­syhuran ini, ia tidak terpuaskan, tujuannya belum tercapai karena keuntungan, kemuliaan, dan kemashyhuran ini, ia tidak mengagungkan dirinya sendiri, ia tidak meremehkan orang lain. Karena keuntungan, kemuliaan, dan kemasyhuran ini, ia tidak mengagungkan dirinya sendiri, ia tidak meremehkan orang lain. Karena keuntungan, kemuliaan, dan kemasyhuran, ia tidak menjadi gembira, tidak malas, dantidak terjatuh dalam kelam­baman. Bahkan denganrajin dan penuh semangat, ia mencapai keberhasilan dalam sila. Karena keberhasilannya dalam sila ini, ia terpuaskan, tujuannya tercapai. Karena keberhasilan dalam sila ini, ia mengagungkan dirinya sendiri, lalu mere­mehkan orang lain dengan berpikir: "Akulah pemilik sila yang baik, berkareakter baik, tetapi para bhikkhu lain memiliki sila yang buruk, bekarakter jelek." Karena keberhasilannya dalam sila, ia menjadi gembria, malas, dan terjatuh dalam kelambaman. Karena malas, ia menjadi sakit. Para bhikkhu, sama halnya dengan seseorang yang berjalan mengejar untuk menemukan dan mencari intisari dari pohon yang besar, kokoh, dan berbiji banyak, yang melewati intisari itu sendiri ... kayu lunak .. kulit kayu, dan setelah menganggap bahwa semua itu adalah intisari. Seseorang yang dapat melihat, setelah melihat dia, mungkin berkata: "Sesungguhnya orang baik ini tidak tahu tentang intisari ... kayu lunak ... kulit kayu ... tunas-tunas muda. Pengetahuannya tentang cabang dan dedaunan tidaklah sebanyak perjalanannya dalam mengejar, menemukan, dan mencari intisari dari pohon yang besar, kokoh, dan ber­biji banyak; melewati kulit kayu, dan setelah memotong tunas-tunas muda, ia membawa semuanya karena menganggap bahwa semua itu adalah intisari. Maka ia tidak akan mendapat kebajikan yang sebenarnya dapat diperoleh." Namun demikian, o para bhikkhu, beberapa pemuda, setelah meninggalkan rumah, berpi­kir: "... karena keberhasilan kelambanan. Menjadi malas, lalu jatuh sakit. Para bhikkhu, inilah yang disebut seorang bhikk­hu yang berpegang pada tunas-tunas muda dari pohon Brahma, karenanya ia gagal mencapai Penerangan Sempurna.

Tetapi, para bhikkhu, beberapa pemuda yang meninggalkan rumah bermodalkan keyakinan, berpikir: "Saya dicengkeram oleh kelahiran, usia tua, dan kematian; oleh duka cita, kesedihan, penderitaan, ratapan, dan putus asa. Saya dicengkeramkeram oleh derita hebat, dilimpahi derita hebat. Mungkin penghan­curan seluruh derita hebat ini dapat ditunjukkan." Karena itu ia pergi dan mendapat keuntungan, kemuliaan, dan kemasyhuran. Tetapi dengan keuntungan, kemuliaan, kemashyuran ini, ia tidak menjadi puas, tujuannya belum tercapai. Karena keuntun­gan, kemuliaan, dan kemasyhuran ini, dia tidak mengagungkan dirinya sendiri, tidak meremehkan orang lain. Karena keuntun­gan, kemuliaan, dankemasyhuran ini, ia tidak menjadi gembira, tidak malas, dan tidak terjatuh dalam kelambanan, bahkan ia menjadi semakin rajin hingga mencapai konsentrasi. Karena keberhasilannya dalam konsentrasi, ia mengagungkan dirinya sendiri dan meremehkan orang lain dengan berkata: "Akulah orang yang terkonsentrasi, sedangkan pikiran mereka mengemba­ra." Karena keberhasilannya dalam konsentrasi, ia menajdi gembria, malas, dan terjatuh dalam kelambanan. Karena malas, ia jatuh sakit. Para bhikkhu, sama halnya dengan seseorang yang berjalan mengejar untuk menemukan dan mencari intisari dari pohon yang besar, kokoh, dan berbiji banyak, yang me­leati intisari itu sendiri, melewati kahu lunak, dan setelah memotong kulit kayu, lalu membawa semuanya karena menganggap bahwa itu adalah intisari. Seseoran gyang dapata 'melihat', setelah melihat dia, meungkin berakta: "Sesungguhnya orang baik ini tidak tahu tentang intisari ... kayu lunak ... kulit kayu ... tunas-tunas muda. Pengetahuannya tentang cabang dan dedaunan tidaklah sebanayk perjalannannya dalam mengejar untuk menemukan dan mencari intisari itu sendiri, melewati semuanya itu adalah intisari, maka ia tidak memperoleh kebaj­ikan bhikkhu, beberapa pemuda, setelah meninggalkan rumah, berpikir ... karena keberhasilannya dalam konsentrasi, ia menjadi gembira, malas, dan terjatuh dalam kelambaman. Karena gembira, ia jatuh sakit. Para bhikkhu inilah ylang disebut seorang bhikkhu yang berpegang pada kulit kayu dari pohon Brahama, karenanya ia gagal mencapai Penerangan Sempurna.

Tetapi para bhikkhu, beberapa pemuda yang meninggalkan rumah bermodalkan keyakinan, berpikir: "Saya dicengkeram oleh kelahiran, usia tua, dan kematian; oleh duka cita, kesedihan, penderitaan, ratapan, dan putus asa. Saya dicengkeram oleh derita hebat, dilimpahi derita hebat. Mungkin penghancuran seluruh derita ini dapat ditunjukkan." Karena itu ia pergi dan mendapat keuntungan, kemuliaan, dan kemashyuran. Tetapi dengan keuntungan, kemuliaan, dan kemasyhuran, ia tidak terpuaskan, tujuannya belum tercapai. Karena keuntungan, kemuliaan, dan kemasyhuran, ia tidak mengagungkan dirinya sediri dan tidak meremehkan orang lain. Karena keuntungan, kemuliaan, dan kemasyhuran, ia tidak menjadi gembira, tidak malas, dan tidak terjatuh dalam kelambanan. Bahkan ia menjadi rajin sehingga mencapai sukses dalam sila. Karena keberhasi­lannya dalam sila, ia menjadi puas, tapi tujuannya belum tercapai. Karena keberhasilannya dalam sila, ia tidak mengagungkan dirinya sendiri, tidak gembira, tidak malas, dan tidak terjatuh dalam kelambanan. Karena rajin, akhirnya ia mencapai sukses dalam konsentrasi tidak membuatnya mengaung­kan dirinya sendiri, lalu meremehkan orang lain. Karena keberhasilannya dalam konsentrasi, ia tidak menjadi gembira, malas, dan terjatuh dalam kelambanan. Bahkan ia menjadi rajin sehingga mencapai pengetahuan dan pandangan terang. Karena pengetahuan dan pandangan terangnya ini, ia menjadi puas, tujuannya tercapai, Karena penetahuan dan pandangan terangnya ini, ia menjadi puas, tujuannya tercapai. Karena pengetahuan dan terangnya ini, ia mengagungkan dirinya sendiri dan mere­mehkan orang lain, lalu berkata: "Akulah yang mengetahui dan melihat, tetapi para bhikkhu lain tidak mengetahui, tidak melihat." Karena pengetahuan dan pandangan terangnya ini, ia menjadi gembira, malas, lalu terjatuh dalam kelambaman. Karena malas, ia menjadi sakit. Para bhikkhu, sama halnya dengan seseorang yang berjalan mengejar untuk menemukan dan mencari intisari dari pohon yang besar, kokoh, dan berbiji banyak; yang melewati intisari itu sendiri, memotong kayu lunak, dan membawa semuanya karena menganggap bahwa semuanya itu adalah intisari. Seseorang yang dapat melihat, setelah melihat dia, mungkin berkata: "Sesungguhnya orang baik ini tidak tahu tentang intisari ... kayu lunak ... kulit kayu ... tunas-tunas muda. Pengetahuannya tentang cabang dan dedaunan tidaklah sebanyak perjalannnya dalam mengejar untuk mendapat­kan dan mencari intisari dari pohon yang besar kokoh, dan berbiji banyak; melewati intisari itu sendiri, memotong kayu lunak, membawa semuanya karena menganggap bahwa semua itu adalah intisari. Maka itu ia tidak mendapatkan kebajikan yang seharusnya dapat diperoleh." Meskipun demikian, o para bhikk­hu, beberapa pemuda yang meninggalkan rumah bermodalkan keyakinan, berpikir ... karena pengetahuan dan penglihatan­nya, ia menjadi gembira, malas, dan terjatuh dalam kelamba­nan. Menjadi malas, lalu sakit, para kayu lunak dari pohon Brahma, karenaya ia gagal mencapai Penerangan Sempurna.

Tetapi, para bhikkhu, beberapa pemuda yang meninggalkan rumah bermodalkan keyakinan, akan berpikir: "Saya dicengkeram oleh kelahiran keyakinan, akan berpikir: "Saya dicengkeram oleh kelahiran, usia tua, dan kematian; oleh duka cita, kesedihan, penderitaan, ratapan, dan putus asa. Saya diceng­keram oleh derita hebat dilimpahi derita hebat. Mungkin penghancuran seluruh derita hebat ini dapat ditunjukkan." Karena itu ia pergi, lalu mendapatkan keuntungan, kemuliaan, dan kemasyuhran ini, ia tidak terpuaskan, tujuannya belum tercapai. Karena keuntungan, kemuliaan, dan kemasyhuran ini, ia tidak mengagungkan dirinya sendiri, tidak meremehkan oran lain. Karena keuntungan, kemuliaan, dan kemasyhuran, ia tidak gembira, tidak malas, tidak terjatuh dalam kelambanan. Seba­liknya ia menjadi rajin sehingga mencapai keberhasilan dalam sila. karena keberhasilannya dalam sila, ia puas, tapi tu­juannya belum tercapai. Karena keberhasilannya dalam sila, ia tidak mengagungkan dirinya sendiri, tidak meremehkan orang lain. Karena keberhasilannya dalam sila, ia tidak gembira, tidak malas, dan tidak terjatuh dalam kelambanan. Sebaliknya ia semakin rajin hingga memcapai keberhasilan dalam konsen­trasi. Karena keberhasilannya dalam konsentrasi, ia puas, tapi tujuannya belum tercapai. Karena keberhasilannya dalam konsentrasi, , ia puas, tapi tujuannya belum tercapai. Karena keberhasilannya dalam konsentrasi, ia tidak mengagungkandirinya sendiri, tidak meremehkan orang lain. Krena keberhasilannya dalam konsentrasi, ia tidak gembira, tidak malas, dan tidak terjatuh dalam kelambanan. Sebaliknya ia semakin rajin hingga memperoleh pengetahun dan penglihatan. Karena pengetahuan dan penglihatannya ini, ia terpuaskan, tapi tujuannya belum tercapai. Karena pengetahuan dan penlihatannya ini, ia tidak mengagungkan dirinya sendiri, tidak meremehkan orang lain. Dengan penetahuan dean pengliha­tannya, ia tidak gembira, tidak masl, dan tidak terjatuh dalam kelambanan. Sebaliknya ia menjadi rajin hingga mencapai kebebasan berkenaan dengan waktu dari benda-benda (8). Kea­daan terjadi, o para bhikkhu, ketika bhikkhu ini meninggalkan kebebasan tentang waktu benda-benda (9). Para bhikkhu, sama halnya dengan seseorang yang berjalan mengejar untuk menemu­kan dan mencari intisari dari pohon yang besar, kokoh, dan berbiji banyak, dan setelah memotong intisari itu sendiri, membawa semuanya, ia tahu bahwa semua itu adalah intisari, mengetahui kayu lunak, mengetahui kulit kayu, mengetahui tunas-tunas muda, mengetahui cabang dan dedaunan sebanyak perjalananannya dalam mengejar untuk menemukan dan mencari intisari [197] dari pohon yang besar, kokoh, dan berbiji banyak. Setelah memotong intisari, ia membawanya dan tahu bahwa itu adalah intisari. Diperoleh nya kebajikan yang seharusnya didapat dari intisari." Namun rumah bermodalkan keyakinan akan berpikir: "Saya dicengkeram oleh kelahiran, usia tua, dan kematian; oleh duka cita, kesedihan, penderi­taan, rapatan, dan putus asa. Saya dicengkeram oleh derita hebat, dilimpahi derita hebat. Mungkin penghancuran seluruh derita hebat ini dapat ditunjukkan. Karena itu ia maju terus hingga memperoleh keuntungan, kemuliaan, dan kemasyhuran. Tetapi dengan keuntungan, kemuliaan, dan kemasyhurannya ini, ia tidak terpuaskan, tujuannya belum tercapai. Karena keun­tungan, kemuliaan dan kemasyurannya ini, ia tidak menjadi gembira, tidak malas, dan tidak terjatuh dalam kelambaman. Sebaliknya ia semakin rajin hingga mencapai keberhasilan dalam sila. Dengan keberhasilannya dalam sila, ia puas, tapi tujuannya belum tercapai. Karena keberhasilan dalam sila ini pula, ia tidak mengagungkan dirinya sendiri, tidak meremehkan orang lain. Karena keberhasilannya dalam sila, ia tidak gembira, tidak malas, dan tidak terjatuh dalam kelambaman. Sebaliknya ia menjadi rajin hingga mencapai keberhasilan dalam konsentrasi. Karena keberhasilannya dalam konsentrasi, ia puas, tapi tujuannya belum tercapai. Dengan keberhasilan­nya dalam konsentrasi, ia tidak mengagungkan dirinya sendiri, tidak meremehkan orang lain. Karena keberhasilannya dalam konsentrasi, ia tidak menjadi gembira, tidak malas, dan tidak terjatuh dalam kelambanan. Sebaliknya ia semakin rajin hingga mencapai pengetahuan dan pengelihatan. Dengan pengetahuan dan penglihatan ini, ia puas, tapi tujuannya belum tercapai. Dengan pengetahuan dan penglihatan ini, ia puas, tapi tujuan­nya belum tercapai. Dengan pengetahuan dan penglihatannya, ia tidak mengagungkan dirinya sendiri, tidak meremehkan orang lain. Dengan pengetahuan dan penglihatannya, ia tidak gembi­ra, tidak malas, dan tidak terjatuh dalam kelambanan. Seba­liknya ia semakin rajin hingga mencapai kebebasan atas benda-benda yang tidak dibatasi waktu. Tidak mungkin, o para bhikk­hu, tidak mungkin dilampaui, seorang bhikkhu seharusnya meninggalkan kebebasan terhadap benda-benda yang tidak teri­kat oleh waktu.

Karena itu, o para bhikkhu, pohon Brahma (10) bukanlah dimanfaatkan untuk mengejar keuntungan, kemuliaan dan kemasy­uran, bukan dimanfaatkan untuk mengejar sila, konsentrasi, dan pengetahuan serta penglihatan. Itulah, o para bhikkhu, kebebasan pikiran yang tidak tergoncangkan (11). Inilah, o para bhikkhu, tujuan (11) dari pohon Brahma, inilah intisari (11), inilah puncaknya (11)."

Demikianlah khotbah Sang Bhagava! Sangat gembira, para bhikkhu bergembira atas semua uraian Sang Bhagava ini.

Popular Posts