Skip to main content

Featured

034-Culagopalaka Sutta.

CULAGOPALAKA SUTTA Pendahuluan Seperti sutta 33, Sutta ini juga memperkenalkan kiasan mengenai penggem­bala cakap/mampu/tangkap dan tidak cakap tetapi mereka ini dipakai pada per­soalan subyek yang berbeda. Seorang penggembala (sapi) yang tidak cakap di­bandingkan dengan guru-guru agama yang tidak trampil di dalam dunia ini (karena mereka tidak tahu mengajar orang-orang hidup dengan penuh kedamaian, begitu juga guru lainnya karena mereka memilik kebahagiaan sendiri); dunia yang akan datang ( tidak mengetahui tindakan apa yang dianjurkan untuk mencapai kelah­iran kembali yang baik, atau memegang pandangan penghancur lainnya yang menya­takan tidak ada kehidupan berikutnya); yang menjadi milik Mara (seluruh dunia diliputi oleh keinginan dan hawa nafsu, sekalipun surga rasa keinginan atau buah atas dari keinginan itu menjadi milik Mara); apa saja yang bukan milik Mara (adalah dunia yang berupa atau tanpa rupa yang berada diluar jangkauan Mara; dasar mereka bukan keing

021-Kakacupamasutta.

KAKACUPAMA SUTTA

Demikianlah yang saya dengar.

Pada suatu waktu Sang Bhagava menginap di Jetavana, arama milik Anathapindika, Savatthi. Ketika itu Bhikkhu Moliyaphagguna terlalu banyak berhubungan dengan para bhikkhuni. Karena terlalu banyak bergaul dengan bhikkhuni, maka jika ada bhikkhu yang merendahkan para bhikkhuni di depannya, ia marah dan menjadi tidak senang dan mengomelinya; demikian pula bila ada bhikkhu yang merendahkan Bhikkhu Moliyaphagguna di depan para bhikkhuni, maka mereka akan marah, tidak senang dan mengomeli bhikkhu itu. Begitulah hubungan Bhikkhu Moliyaphagguna dengan para bhikkhuni.

Kemudian, ada seorang bhikkhu pergi menemui Sang Bhagava, setelah menghormat beliau, ia duduk. Setelah ia duduk, ia menceritakan apa yang telah terjadi.

Maka Sang Buddha menyuruh seorang bhikkhu dengan berkata: "Bhikkhu, katakan kepada Bhikkhu Moliyaphagguna bahwa guru memanggilmu."

"Ya, Bhante," jawab bhikkhu itu, ia pergi menemui Bhikkhu Moliyaphagguna dan berkata: "Avuso, guru memanggilmu."

"Ya, avuso," jawabnya dan ia pergi menemui Sang Bhagava, mengormat beliau, ia duduk. Setelah duduk, Sang Bhagava berkata:

"Phagguna, apakah benar bahwa anda terlalu banyak berhubungan dengan para bhikkhuni, karena hubungan itu maka bila ada bhikkhu di depanmu merendahkan para bhikkhuni, anda marah, tidak senang dan mengomelinya; jika ada bhikkhu di depan para bhikkhuni merendahkan anda, maka mereka akan marah, tidak senang dan mengomeli bhikkhu itu, nampaknya begitu erat hubungan anda dengan para bhikkhuni."

"Ya, bhante."

"Phagguna, bukankah karena keyakinan (saddha) anda meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk menjadi bhikkhu (pabbaja)?"

"Ya, bhante."

"Phagguna, tidak pantas bagi anda sebagai bhikkhu untuk berhubungan terlalu erat dengan para bhikkhuni. Maka bila seseorang di depanmu merendahkan para bhikkhuni, anda harus menghilangkan keinginan dan pikiran yang didasarkan pada kehidupan berkeluarga. Anda harus melatih diri sebagai berikut: 'Pikiranku tidak akan terpengaruh, saya akan tidak mengucapkan kata-kata buruk, saya akan hidup dengan kasih sayang dengan pikiran diliputi cinta-kasih tanpa kebencian demi kesejahteraan banyak orang."'

"Demikianlah, jika di depanmu seseorang memukul para bhikkhuni dengan tangan, pemukul, tongkat atau memotong dengan pisau; anda harus menghilangkan keinginan dan pikiran yang didasarkan pada kehidupan berkeluarga Anda harus melatih diri sebagai berikut: 'Pikiranku tidak akan terpengaruh, saya akan tidak mengucapkan kata-kata buruk, saya akan hidup dengan kasih sayang dengan pikiran diliputi cinta-kasih, tanpa kebencian demi kesejahteraan banyak orang."

Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: "Para bhikkhu, pada suatu waktu para bhikkhu memuaskanku. Saya mengatakan kepada para bhikkhu: 'Saya makan sekali duduk. Dengan berbuat begitu saya mengalami gangguan sedikit, kesakitan sedikit, ringan, kuat dan menyenangkan.' Saya tidak perlu terus-terusan mengajar bhikkhu-bhkikkhu itu. Saya hanya membangkitkan perhatian mereka."

Misalnya ada sebuah kereta di atas tanah yang rata, berada di persimpangan jalan, ditarik oleh empat ekor kuda yang bagus, siap menunggu dengan cambuk, sehingga kusir yang mahir juga sebagai ahli penjinak kuda dapat naik dan memegang tali sais, mengendarai kereta ke depan atau ke belakang di jalan mana pun yang disukainya, begitu pula saya tidak perlu terus-terusan mengajar bhikkhu-bhikkhu itu. Saya hanya membangkitkan perhatian mereka.

Para bhikkhu, singkirkanlah akusala dhamma dan tekun melaksanakan kusala dhamma, dengan cara itu kamu sekalian akan berkembang, maju dan memenuhi dhamma-vinaya.

Para bhikkhu, dahulu kala ada seorang ibu bemama Vedehika di Savatthi. Popularitas baik Ibu Vedehika telah tersebar sebagai berikut: "Ibu Vehidika baik hati, lembut dan penuh kasih sayang."

Ibu Vedehika mempunyai seorang pembantu bernama Kali, yang pintar, cekatan dan bekerja dengan rapi.

Kali berpikir: "Popularitas nyonyaku telah tersebar, 'Ibu Vedehika baik hati, lembut dan penuh kasih sayang.' Apakah ketika ia tidak marah berarti sungguh-sungguh kemarahannya ada padanya atau tidak ada padanya. Atau mungkin karena pekerjaan saya rapi sehingga nyonya tidak marah padahal kemarahan itu ada adanya? Bagaimana kalau saya mengeceknya?"

Demikianlah, Kali bangun terlambat.

Ibu Vedehika berkata: "Hai Kali! Apa sebab kamu bangun terlambat?"

"Tidak apa-apa, nyonya."

"Tidak apa-apa. Kau gadis jahat, kamu bangun terlambat. Ia marah, tidak senang dan cemberut.

Kemudian Kali berpikir:

"Ternyata bila nyonya tidak marah, kemarahan itu ada padanya, bukan tidak ada; hanya karena pekerjaanku yang rapi maka nyonya tidak marah walaupun kemarahan itu ada padanya, bukan tidak ada padanya.

Bagaimana kalau saya mengecek nyonya sekali lagi?"

Demikianlah, Kali bangun lebih terlambat lagi.

Ibu Vedehika berkata: "Hai Kali! Apa sebab kamu bangun kesiangan?"

"Tidak apa-apa, nyonya."

"Tidak apa-apa, kau gadis jahat, kamu bangun kesiangan!" Ia marah, tidak senang dan mengucapkan katak-kata tidak menyenangkan.

Kali berpikir pula: "Ternyata bila nyonya tidak marah kemarahan itu ada padanya ... saya mengecek nyonya sekali lagi."

Demikianiah, Kali bangun kesiangan lagi.

Ibu Vedehika berkata: "Hai Kali! Apa sebab kamu bangun kesiangan?"

"Tidak apa-apa, nyonya."

"Tidak apa-apa, kau gadis jahat, kamu bangun kesiangan!" ia marah, tidak senang dan mengambil 'gulungan penjepit', memukulkannya ke kepala Kali yang mengakibatkan kepala Kali terluka dan berdarah.

Kemudian, Kali dengan kepala berdarah memberitahukan kepada para tetangga: "Ibu-ibu lihat, perbuatannya yang baik hati, lembut dan penuh kasih sayang. Lihatlah, karena pembantunya bangun kesiangan, ia marah, tidak senang dan memukulnya dengan 'gulungan penjepit' sehingga kepala pembantunya terluka dan berdarah."

Akibatnya nama buruk dari Ibu Vedehika tersebar: "Ibu Vedehika kasar, kejam dan tak memiliki kasih sayang."

Demikianlah beberapa bhikkhu agak baik hati, lembut dan diliputi cinta kasih selama tidak ada kata-kata yang tidak menyenangkan yang didengarnya. Tetapi segera setelah ia mendengar kata-kata yang tidak menyenangkan tentang dirinya seorang bhikkhu harus bersikap baik hati, lembut dan penuh cinta kasih. Saya tidak mengatakan seorang bhikkhu itu mudah di koreksi, karena bhikkhu hanya mudah dikoreksi bila berkenaan dengan jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan untuk menyembuhkan sakit, yang didapatnya. Mengapa demikian? Sebab bhikkhu adalah sulit dikoreksi bila ia tidak mendapat jubah, makanan, tempat tingal dan obat-obatan.

Tetapi seorang bhikkhu mudah dikoreksi bila ia menghormat, memuja dan sujud pada Dhamma. Itulah sebabnya, para bhikkhu harus melatih diri: "Kami akan mudah dikoreksi karena menghormat, memuja dan sujud pada Dhamma."

Para bhikkhu, ada lima macam ucapan yang mungkin ditujukan orang lain kepadamu; mereka berbicara :

i) pada waktu tepat atau pada waktu tidak tepat.

ii) benar atau tidak benar.

iii) lembut atau kasar.

iv) berhubungan dengan kebaikan atau mencelakakan.

v) disertai dengan pikiran cinta kasih atau benci.

Bila ada orang berbicara dengan lima macam ucapan itu, para bhikhu harus melatih diri mereka: "Pikiran kami tidak akan terpengaruh, kami tidak akan mengucapkan kata-kata buruk dan kami akan tetap penuh kasih sayang demi kesejahteraan (banyak orang) dengan pikiran diliputi cinta kasih tak ada kebencian. Kami akan memancarkan pikiran cinta kasih kepada orang itu; kami akan meliputi diri dengan cinta kasih yang banyak, penuh dan tak terbatas tanpa kejahatan atau iri hati untuk semua makhluk di alam semesta ini sebagai obyeknya." Demikian pula, bila ada penjahat yang dengan buas memotong tangan dan kaki dengan gerjaji, ia yang membangkitkan kebencian karena hal itu tidak akan dapat melaksanakan ajaranku. Inilah caranya kamu sekalian harus melatih diri: “Pikiran kami tidak akan terpengaruh, kami kami tidak akan mengucapkan kata-kata buruk dan kami akan tetap penuh kasih sayang demi kesejahteraan (banyak orang) dengan pikiran diliputi cinta kasih tak ada kebencian. Kami akan memancarkan pikiran cinta kasih kepada orang itu; kami akan meliputi diri dengan cinta kasih yang banyak, penuh dan tak terbatas tanpa kejahatan atau iri hati untuk semua makhluk di alam semesta ini sebagai obyeknya.”

Para bhikkhu, ingatlah selalu uraian ini sebagai Perumpamaan Gerjaji (Kakacupama).

Para bhikkhu, apakah kamu sekalian melihat ucapan kasar, kecil atau besar yang tidak dapat kamu tahan?

“Tidak, Bhante”.

Para bhikkhu, ingatlah selalu uraian ini sebagai Perumpamaan Gergaji. Hal ini cukup mensejahterakan dan membahagiaan kamu sekalian.”

Popular Posts