Skip to main content

Featured

034-Culagopalaka Sutta.

CULAGOPALAKA SUTTA Pendahuluan Seperti sutta 33, Sutta ini juga memperkenalkan kiasan mengenai penggem­bala cakap/mampu/tangkap dan tidak cakap tetapi mereka ini dipakai pada per­soalan subyek yang berbeda. Seorang penggembala (sapi) yang tidak cakap di­bandingkan dengan guru-guru agama yang tidak trampil di dalam dunia ini (karena mereka tidak tahu mengajar orang-orang hidup dengan penuh kedamaian, begitu juga guru lainnya karena mereka memilik kebahagiaan sendiri); dunia yang akan datang ( tidak mengetahui tindakan apa yang dianjurkan untuk mencapai kelah­iran kembali yang baik, atau memegang pandangan penghancur lainnya yang menya­takan tidak ada kehidupan berikutnya); yang menjadi milik Mara (seluruh dunia diliputi oleh keinginan dan hawa nafsu, sekalipun surga rasa keinginan atau buah atas dari keinginan itu menjadi milik Mara); apa saja yang bukan milik Mara (adalah dunia yang berupa atau tanpa rupa yang berada diluar jangkauan Mara; dasar mereka bukan keing

002-Sabbasavasutta.

SABBĀSAVA SUTTA

(2)

1-- Demikianlah saya dengar:

Pada suatu waktu Sang Bhagava menginap di Jetavana, arama milik Anathapindika, Savathi. Di sana Beliau menyapa para bhikkhu:

"Para bhikkhu".

"Ya, Bhante", jawab mereka.

2-- Selanjutnya Sang Bhagava berkata sebagai berikut:

"Para bhikkhu, saya akan menerangkan kepada kamu sekalian tentang 'cara mengendalikan' (samvarapariyaya) 'semua kotoran batin' (sabbāsava), maka dengar dan perhatikan baik-baik apa yang akan saya katakan."

"Baiklah, Bhante", jawab para bhikkhu menyetujuinya.

3-- Lalu Sang Bhagava berkata:

"Para bhikkhu, Saya nyatakan bahwa 'kotoran batin' (asava) itu akan lenyap pada diri seseorang yang mengerti dan melihat, bukan pada diri seseorang yang tidak mengerti dan tidak melihat.

Apakah yang dimengerti dan dilihat untuk melenyapkan kotoran batin itu? Yaitu adalah perhatian benar (yoniso manasikara) dan perhatian tidak benar (ayoniso manasikara)”.

“Bila seorang berperhatian tidak benar, maka kotoran batin yang belum muncul, menjadi muncul; di samping itu kotoran batin (yang tidak benar) dan yang telah muncul akan lebih berkembang. Sedangkan, bila seseorang berperhatian benar, maka kotoran batin (yang tidak benar) dan yang telah muncul akan dilenyapkan”.

4-- Para bhikkhu ada kotoran batin yang, ditinggalkan (pahatabba) dengan 'penglihatan' (dassana). Ada kotoran batin yang dapat dilenyapkan dengan 'pengendalian diri' (samvara). Ada kotoran batin yang dapat dilenyapkan dengan 'penggunaan' (patisevana). Ada kotoran batin yang dapat dilenyapkan dengan 'penahanan' (adhisevana). Ada kotoran batin yang dapat dilenyapkan dengan 'penghindaran' (parivajjana). Ada kotoran batin yang dapat dilenyapkan dengan ‘penghapusan' (vinodana). Juga ada kotoran batin yang dapat dilenyapkan dengan 'pengembangan' (bhavana) batin.

5-- Para bhikkhu, apakah kotoran batin dapat dilenyapkan dengan penglihatan?

Para bhikkhu, dalam hal ini, seorang awam (puthujjana) yang tidak mempedulikan para ariya, tidak terlatih dan tidak disiplin dalam ariyadhamma, tidak mengerti ariyadhamma yang pantas diperhatikan dan dhamma apa yang tidak pantas diperhatikan. Karena bersikap seperti itu, ia memperhatikan dhamma yang tidak pantas diperhatikan, tidak memperhatikan dhamma yang pantas diperhatikan.

6-- "Apakah dhamma yang tidak pantas diperhatikan namun ia perhatikan?

Dhamma itu adalah hal-hal yang bila ia perhatikan maka akan memunculkan 'kotoran batin nafsu indera' (kama-asava) yang (tadinya) belum muncul, sedangkan kotoran batin nafsu indera’ yang telah muncul menjadi lebih berkembang; memunculkan 'kotoran batin menjadi' (bhava-asava) yang (tadinya) belum muncul, sedangkan 'kotoran batin menjadi' yang telah muncul menjadi lebih berkembang (pavaddhati); memunculkan 'kotoran batin kebodohan' (avijja-asava) yang (tadinya) belum muncul, sedangkan ‘kotoran batin kebodohan’ yang telah muncul menjadi lebih berkembang. Inilah dhamma yang tidak perlu diperhatikan namun ia perhatikan."

"Apakah dhamma yang perlu ia perhatikan namun tidak ia perhatikan?

“Dhamma itu adalah hal-hal yang bila ia perhatikan, maka tidak memunculkan 'kotoran batin nafsu indera', sedangkan 'kotoran batin nafsu indera' yang telah muncul ditinggalkannya (pahiyati); tidak memunculkan 'kotoran batin menjadi', sedangkan 'kotoran batin menjadi' yang telah muncul ditinggalkan; tidak memunculkan 'kotoran batin kebodohan', sedangkan 'kotoran batin kebodohan' yang telah muncul ditinggalkannya. Inilah dhamma yang perlu ia perhatikan namun ia tidak perhatikan”.

“Dengan memperhatikan dhamma yang tidak perlu diperhatikan dan dengan tidak memperhatikan dhamma yang perlu diperhatikan, kedua kotoran batin yang belum muncul dan kotoran batin yang telah muncul menjadi berkembang padanya."

7-- "Beginilah bagaimana ia yang tidak bijaksana memperhatikan: 'Apakah saya ada pada masa yang lampau (atita)?

Apakah saya tidak ada pada waktu yang lampau?

Apakah saya pada waktu yang lampau?

Bagaimana saya pada masa yang lampau?

Telah menjadi apa, dan saya menjadi apa pada waktu yang lampau?

Apakah saya akan ada pada masa yang akan datang (anagatam)?

Apakah saya akan tidak ada pada masa yang akan datang?

Apa yang akan terjadi dengan diri saya pada masa yang akan datang?

Bagaimana keberadaan saya pada masa yang akan datang?

Telah menjadi apa, dan saya akan menjadi apa pada masa yang akan datang?

Atau, juga dari 'dalam' (ajjhattam) ia bingung tentang masa sekarang: 'Adakah saya? Tidak adakah saya? Apakah saya? Bagaimanakah saya? Dari manakah makhluk (satta) ini datang? Ke manakah ia akan pergi?'

8-- "Ketika ia tidak bijaksana memperhatikan dengan cara seperti ini, salah satu dari enam pandangan muncul padanya:

Pandangan 'aku (atta) ada untukku' muncul sebagai suatu hal yang benar dan tetap.

Atau pandangan 'tidak aku untukku’ muncul sebagai suatu hal yang benar dan tetap.

Atau pandangan 'saya mencerap aku dengan aku' muncul sebagai suatu hal yang benar dan tetap.

Atau pandangan 'saya mencerap bukan-aku dengan aku' muncul sebagai suatu hal yang benar dan tetap.

Atau pandangan 'saya mencerap aku dengan bukan-aku' muncul sebagai suatu hal yang benar dan tetap.

Atau pandangan 'aku milikku ini yang berbicara, merasakan dan mengalami 'akibat' (vipaka) dari 'perbuatan baik dan buruk' (kalyanapapakanam kammanam) di sini maupun di sana; namun aku milikku ini kekal, abadi, tetap, tidak berubah, akan bertahan sampai selamanya.'

Para bhikkhu, inilah yang disebut 'spekulasi pandangan' (ditthigata), 'belukar-pandangan' (ditthigahana), 'belantara-pandangan' (ditthikantara), 'pemutarbalikkan pandangan' (ditthivisuka), 'kebimbangan-pandangan' (ditthivipphandita) dan 'belenggu-pandangan' (ditthisanyojana). Terbelenggu oleh 'belenggu-pandangan', maka 'orang awam yang tak-terdidik' (assutava puthujjano) tidak akan terbebas dari kelahiran, usia tua, kematian, penderitaan, kesedihan, kesakitan, kesusahan, dan putus-asa; saya nyatakan ia tidak terbebas dari 'dukkha' (penderitaan).

9-- 'Aku mencerap ketidakakuan dan keakuan’ sebagai suatu hal yang benar dan mutlak, atau dia akan berpandangan bahwa akulah yang bicara dan merasakan serta mengalami akibat dari perbuatan baik atau buruk: tetapi milikku ini adalah kekal, selama-lamanya, abadi, tak dapat berubah dan akan berlangsung selamanya."

"Pandangan macam ini disebut kekaburan pandangan, kebuasan pandangan, kerusakan pandangan, keragu-raguan pandangan, belenggu pandangan. Orang awam yang tak terpelajar dan terikat dengan belenggu pandangan-pandangan ini, tidak akan ada yang terbebas dari kelahiran, umur tua dan kematian dengan penderitaan serta ratap tangis, rasa sakit, takut dan putus asa; saya nyatakan ia tidak terbebas dari penderitaan.”

"Orang yang terpelajar, yang menghargai, memahami dan berdisiplin dengan ajaran orang-orang pandai serta bijaksana. Mengerti hal-hal yang penting untuk diperhatikan atau hal-hal apakah yang tidak penting untuk diperhatikan. Sehingga dia tidak memperhatikan hal-hal yang tidak penting untuk diperhatikan dan dia memperhatikan hal-hal yang penting untuk diperhatikan."

"Apakah hal-hal yang ia tidak perhatikan?"

“Adalah hal-hal yang menyebabkan munculnya dukkha yang baru atau bertambahnya dukkha yang sudah ada yang berasal dari nafsu indera, keakuan dan ketidaktahuan. Inilah hal-hal yang tidak seharusnya ia diperhatikan.

"Apakah hal-hal yang ia perhatikan?"

Adalah hal-hal yang tidak menyebabkan munculnya dukkha yang baru atau bertambahnya dukkha yang sudah ada yang berasal dari nafsu indera, keakuan dan ketidaktahuan. Inilah hal-hal yang seharusnya ia diperhatikan.

"Dengan memperhatikan hal-hal yang perlu diperhatikan dan tidak memperhatikan hal-hal yang tidak perlu untuk diperhatikan, dukkha yang baru tidak muncul dan dukkha yang lama dapat dihilangkan."

"Beginilah bagaimana ia berpikir dengan bijaksana: 'Ini adalah dukkha (penderitaan), ini adalah asal mula dukkha, ini adalah terhentinya dukkha dan ini adalah jalan yang menuju terhentinya dukkha'."

"Ketika dia memperhatikan jalan ini dengan bijaksana, tiga belenggu dapat ditinggalkannya: keinginan untuk bertumimbal lahir, ketidakpastian dan kemelekatan terhadap upacara-upacara."

"Ini disebut sebagai dukkha yang dapat dihentikan dengan cara melihat".

"Apakah dukkha yang dapat dihentikan dengan pengendalian diri?"

"Seorang bhikkhu berpikir dengan bijaksana dapat mengendalikan kesulitan matanya". Bila dukkha jasmani dan perasaan bisa timbul pada seorang bhikkhu yang tidak dapat mengendalikan kesulitan matanya, maka tidak ada dukkha atau beban emosi yang timbul jika dia dapat mengendalikan kesulitan matanya.'

"Berpikir dengan bijaksana dia dapat mengendalikan kesulitan matanya, tak ada dukkha jasmani dan perasaan yang timbul bila pikirannya terkendali.

"Berpikir dengan bijaksana dia dapat mengendalikan kesulitan penciumannya, tak ada dukkha jasmani dan perasaan yang timbul bila pikirannya terkendali.

"Berpikir dengan bijaksana dia dapat mengendalikan kesulitan pengecapannya, tak ada dukkha jasmani dan perasaan yang timbul bila pikirannya terkendali.

"Berpikir dengan bijaksana dia dapat mengendalikan kesulitan pendengarannya, tak ada dukkha jasmani dan perasaan yang timbul bila pikirannya terkendali.

"Berpikir dengan bijaksana dia dapat mengendalikan kesulitan badannya, tak ada dukkha jasmani dan perasaan yang timbul bila pikirannya terkendali.

"Berpikir dengan bijaksana ia dapat mengendalikan kesulitan pikirannya, tak ada dukkha jasmani dan perasaan yang timbul bila pikirannya terkendali.

Bila dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang pikirannya tidak terkendali, maka sebaliknya tidak ada dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang pikirannya terkendali. Inilah yang disebut penderitaan yang dapat dihentikan dengan pengendalian diri."

"Apakah penderitaan yang dapat dihentikan dengan penggunaan?" Seorang bhikkhu berpikir dengan bijaksana menggunakan sebuah jubah sebagai pelindung dari dingin, panas dan untuk melindungi diri dari lalat, angin, panas yang membakar serta serangga tanah, juga hanya bertujuan untuk menutupi bagian tubuh yang vital."

"Berpikir dengan bijaksana ia tidak menggunakan patta (mangkuk)-nya untuk hiburan atau kesombongan, tidak pula untuk keelokan dan hiasan. Tetapi sekedar untuk kelangsungan hidupnya, untuk menghilangkan rasa sakit dan membantu perkembangan batin (berpikir): 'Beginilah aku akan menghentikan kesadaran lama tanpa menimbulkan kesadaran baru dan terhindar dari kesalahan, aku akan hidup dengan benar dan sehat'."

"Berpikir dengan bijaksana ia menggunakan tempat peristirahatan untuk melindungi diri dari dingin, gangguan lalat, angin, panas terik dan serangga tanah. Dan hanya sekedar menghindar dari bahaya-bahaya cuaca dalam menikmati istirahat.”

"Berpikir dengan bijaksana dia menggunakan obat-obatan untuk menyembuhkan diri dari sakit, sekedar untuk melindungi diri dari rasa sakit vang timbul dan mengurangi rasa sakit itu."

"Bila dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang tidak menggunakan segala sesuatunya dengan baik, maka sebaliknya tidak ada dukkha jasmani dan perasaan yang dapat muncul pada seorang yang menggunakan segala sesuatunya dengan baik."

"Ini yang disebut penderitaan yang dapat dihentikan dengan penggunaan".

"Apakah penderitaan yang dapat dihentikan dengan penahanan?"

"Seorang bhikkhu dengan bijaksana berpikir menahan dingin, panas lapar, haus dan gangguan dari lalat, angin, panas dan serangga tanah, dia menahan diri dari menghina, kata-kata kasar dan perasaan yang menyakitkan, menyiksa, yang menusuk hati, yang mengkhawatirkan, mengancam dan membahayakan kehidupan."

"Bila dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang tidak dapat menahan, maka sebaliknya tidak ada dukkha jasmani dan perasaan yang dapat muncul pada seorang yang dapat menahan." "Apakah penderitaan yang dapat dihentikan dengan penghindaran?"

"Seorang bhikkhu dengan bijaksana berpikir menghindar dari seekor gajah liar, kuda liar, banteng liar, anjing liar, ular, batang pohon yang roboh, semak belukar, tanah berlubang, tebing batu, lubang dan lubang bawah tanah; berpikir dengan bijaksana untuk menghindar: duduk di kursi yang tidak menyenangkan, berkelana di tempat yang tidak cocok, bergaul dengan orang bodoh; yang mana hal-hal ini dianggap merupakan perbuatan salah oleh orang bijaksana".

"Bila dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang tidak dapat menghindar, maka sebaliknya tidak ada dukkha jasmani dan perasaan yang dapat muncul pada seorang yang dapat menghindar."

"Apakah penderitaan yang dapat dihentikan dengan penghapusan?"

"Seorang bhikkhu dengan bijaksana berpikir tidak membiarkan pikiran yang ditimbulkan oleh nafsu indera ... oleh kekesalan ... oleh penderitaan; dia tinggalkan, benar-benar menghilangkannya dan memusnahkannya. Dia tidak membiarkan hal-hal yang salah dan tidak berguna untuk timbul; dia meninggalkannya, benar-benar menghilangkannya dan memusnahkan hal-hal itu."

"Bila dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang tidak dapat menghapus pikiran-pikiran ini, maka sebaliknya tidak ada dukkha jasmani dan perasaan yang dapat muncul pada seorang yang dapat menghapus mereka."

"Apakah penderitaan yang dapat dihentikan dengan pengembangan?"

"Seorang bhikkhu dengan bijaksana berpikir, mengembangkan perhatian dari faktor-faktor penerangan sempurna (satisambojjhanga) yang merupakan penahanan diri, tanpa nafsu dan menghentikan hal-hal yang menyebabkannya dan berubah tidak melakukannya."

"Dia mengembangkan penelitian dhamma dari faktor-faktor penerangan sempurna (dhammavicayasambojjhanga)"

"Dia mengembangkan penelitian dhamma dari faktor-faktor semangat (viriya) penerangan sempurna yang merupakan penahanan diri, tanpa nafsu, menghentikan hal-hal yang menyebabkannya dan berubah tidak melakukannya."

"Dia mengembangkan penelitian dhamma dari faktor-faktor kegiuran (piti) penerangan sempurna yang merupakan penahanan diri, tanpa nafsu, menghentikan hal-hal yang menyebabkannya dan berubah tidak melakukannya."

"Dia mengembangkan penelitian dhamma dari faktor-faktor ketenangan (passaddhi) penerangan sempurna yang merupakan penahanan diri, tanpa nafsu, menghentikan hal-hal yang menyebabkannya dan berubah tidak melakukannya."

"Dia mengembangkan penelitian dhamma dari faktor-faktor konsentrasi (samadhi) penerangan sempurna yang merupakan penahanan diri, tanpa nafsu, menghentikan hal-hal yang menyebabkannya dan berubah tidak melakukannya."

"Dia mengembangkan penelitian dhamma dari faktor-faktor keseimbangan batin (upekha) penerangan sempurna, yang merupakan penahanan diri, tanpa nafsu, menghentikan hal-hal yang menyebabkannya dan berubah tidak melakukannya."

"Bila dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang tidak dapat mengembangkan hal-hal itu, maka sebaliknya tidak ada dukkha jasmani dan perasaan yang dapat muncul pada seorang yang mengembangkannya."

"Segera setelah penderitaan seorang bhikkhu dapat ditinggalkan dengan cara melihat (ke dalam) (dassana), menahan, menggunakan, menghindar, menghilangkan dan mengembangkan telah dapat ditinggalkan, dia akan disebut sebagai seorang bhikkhu yang dapat menghentikan semua penderitaan: dia menghentikan keinginan (tanha), melepaskan belenggu (samyojana) dan telah mengakhiri penderitaan dengan penembusan kesombongan (mana)."

Demikian yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Para bhikkhu merasa puas dan gembira dengan kata-kata Sang Bhagava.

Popular Posts